“MAKNA UNIVERSAL DARI PANGANJALI, SEBAGAI IDENTITAS UMAT HINDU”
(
Oleh: Adi Winarno STAH DNJ :
27.12.2014. Pura agung Tirtha Bhuana Bekasi dan
Pura Agung Taman Sari Halim Perdana Kusuma)
“Om Swastyastu”

Pada
saat yang seperti inilah manusia merindukan sang Awatara, seperti janji-Nya
dalam Bhagavad Gita ( IV.7 ) :
Yada-yada hi dharmasya. Glanir bhwati
bharatha
Abhyutanam adharmasya. Tadatmanam
srijamy aham
Yang
mempunyai arti bebas adalah:
Manakala Dharma hendak sirna dan Adharma hendak
merajalela, di dunia maka aku akan turun menjelma Ku- hancuran demi Kebajikan
Bapak-bapak dan Ibu-ibu
yang penuh dengan kedamaian.
Tapi entah kapan turunya Sang
Awatara, namun kitapun tidak harus menunggu dengan berpangku tangan, tetapi
mengacu pada sloka diatas, kita
sebagai Umat Hindu harus terus melangkah untuk menugakan Dharma, setidaknya menegakan Dharma dalam diri sendiri (KEWAJIBAN) Untuk itu diperlukan
penghayatan dan pendalaman
yang lebih intens terhadap ajaran Hindu, dari
hal-hal yang tampak sederhana dalam keseharian ini; seperti halnya panganjali ini.
Agama-agama besar di dunia memiliki
simbolnya masing-masing, paling tidak memiliki adanya suara, bunyi, api,
cahaya, sinar, terang, matahari, bulan, bintang, planet dan sebagainya. Agama
Hindu sendiri juga erat sekali
dengan simbol-simbol yang
memerlukan penjabaran-penjaaran lebih lanjut sehingga makna dan manfaatnya
semakin jelas.
Demikian pula dengan sikap Kritanjali seperti halnya yang
dilakukan oleh Arjuna terhadap Krsna ketika mendapat karunia berupa penampakan Brahman yang maha
kuasa, dalam Visvarupa wujud
alam semesta yang tidak terbatas, sebagai kualitas
Awatara Visnu dalam diri Krsna. Arjuna
mencakupkan tangan didepan dadanya, sebagai penghormatan kepada wujud
Brahman sebagai pemberi hidup. Inilah cuplikan dari Bhagavagita ( XI. 14 ) :
Tatah sa
vismayavisto. Hrsta-roma dhananjaya
Pranamya sirasa
devam. Krtanjali abhasata
Yang artinya :
Kemudian Arjuna kebingungan dan
kagum, bulu romanya berdiri tegak. Arjuna
menundukan kepalanya untuk bersujud, dengan sikap Kritnajali (mencakupkan
tangan) Dan mulai berdoa kepada Brahman.
Cakupan tangan dengan membentuk
bunga lotus dengan ujungya menjulang ke atas, dilanjutkan dengan salam jagaditha
(selamat dan sejatera) “AUM SWASTYASTU” merupakan
salam dan doa yang mempunyai makna yang dalam. Sebuah salam dan doa yang
didasari dengan kesadaran Arjuna kepada Brahman. Apakah begitu sederhananya
makana dari sebuah Kritanjali dengan salam dan doa yang kemudian hari lebih
popular dengan panganjali?
Bapak-bapak dan Ibu-ibu
yang penuh dengan karunia.
Bagi kita sebagai Umat Hindu, baik
di India maupun di Indonesia, kritanjali
ini bukan hanya penhormatan kepada sesame manusia saja, tetapi juga ditunjukan
kepada para leluhur para Deva dan Brahman
itu sendiri; bahkan sebearnya juga ditujukan
kepada makhluk dimensi bawah (para
bhuta) dalam kitap Ramayana (P.lall) disebutkan bahwa anjali adalah sikap
penhormatan Hindu dimana kedua telapak di cakupkan, diangkat didepan dada, dagu
atau dahi sebagai salam sembah. Sedangkan SWASTI
TE ASTU yang artinya “semoga segalanya baik bagimu” merupakan sebuah sapaan tradisional Hindu.
Laksmana megucapkan kata-kata itu kepada sita ketika ia meninggalkan sang
Devi untuk menyusul Rama yang maksudnya
“semoga kebaikan selalu menyertaimu”
(P.lall, Ramayana hal 147). Juga ketika wibhisana meninggalkan Alengka karena
berselisih pendapat dengan Rahwana, ia masih mengucapkakan SWASTI TE ASTU yang artinya “semoga engkau makmur” katanya kepada kakanya, Rahwana (P.lall
Ramayana hal 265) mencakupkan kedua belah tangan, merupakan sarana komunikasi universal
Bagi Umat Hindu. Di Indonesia salam diguakan oleh Hindu dan Budha, umat
lain dari etnis tetentu juga mengunakan tradisi ini, untuk bersalaman dalam
pertemuan –pertemuan (etnis Betawi, Sunda dll); walaupun mungkin maknanya
berbeda, tetapi yang pasti bukanlah sesuatu yang baru dalam tradisi di Nusantara ini.
Dari sudut pandang Hindu, semua
manusia memiliki dua sifat alami yang selalu ingin saling mendominasi yaitu sifat baik (daiva sampad), dan sifat
buruk (asuri
sampad). Sehingga ketika sifat baik yang lebih dominan, maka kesadaran Atman
akan lebih berkembang dan
berperan. Ini terlihat dari perilaku positif orang-orang tetentu, yang otomatis
tanpa disadarinya sering melakukan hal-hal yang baik.
Seperti halnya perilaku Umat Hindu
yang selalu mencakupkan kedua belah tanganya,
ketika berjumpa dengan sesama Umat Hindu
tanpa disadari kadang-kadang
kita juga melakukan hal yang sama kepada umat lain; karena ini bukan sesuatu
yang baru di Nusantara ini, maka tidak dapat
diartikan sebagai suatu intervensi umat Hindu terhadap umat lainya. namun,
untuk itu, umat Hindu sendiri harus harus benar-benar memahami secara dalam
makna dari sebuah Krtanjali. Yang
kemudian hari berkembang menjadi panganjali. “dari beberapa
sastra yang saya baca dan beberapa sumber narasumber yang sudah terpercaya saya
mendapatkan pemahaman”
Pertama,
krtanjali berupa cakupan tangan mengarah keatas, memberikan makna penyatuan,
yaitu menyatukan idep (power of
mind), sabda (power of speech), dan bayu (power of activities) untuk
mengarah pada tujuan hakekat hidup yaitu
Brahman. Ketiga
anurah pramana inilah
yang menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan yang paling mulia dan lebih sempurna dari
ciptaan Brahman yang lainya. Oleh karena
itu sudah sepantasnyalah setiap manusia, Khususnya kita sebagai umat Hindu. untuk selalu
mempertahankan penyatuan ketiga anugerah ini. Karena hanya membentuk suatu
keseimbangan dalam penyatuan ini, maka manusia akan memiliki cirinya sebagai
manusia dengan sifat-sifat kedewataan. Lalu, dari penyatuan ini diharapkan akan
menghasilkan Tri Kaya Parisudha,
yaitu keseimbangan dalam mengendalikan pikiran (idep), perkataan (sabda), bayu
(perbuatan). Keseimbangan yang dimaksud adalah
segala yang dipikirkan seharusnya sesuai dengan perkataan dan perbuatanya.
Secara teori memang terasa mudah, namun,
kenyataan bukanlah
demikian, tidak sedikit orang yang yang memiliki pemikiran atau ide-ide
cemerlang namun gagal dalam mewacanakanya. Ketika mampu mewacanakanya dengan
baik, gagal dalam mengaplikasikanya karena muncul keserakaan dsb.
Kedua,
sikap krtanjali didepan dada mengandung makna kesetaraan dan kebersamaan, yaitu
untuk mengajak orang lain untuk selalu mengedepankan kebersamaan. Kesetaraan
atau kebersamaan harus dipahami. Didasarkan pada konsep Tat Twam Asi; yaitu sama-sama merupakan bagian dari Brahman. Karena
semua makhluk adalah bersal dari sumber yang sama. Tidak ada yang lebih tinggi
derajatnya, tidak ada yang lebih istimewa, karena semuanya menerima atman dari Brahman. Kalau ada perbedaan,
selain tubuh jasmaninya; maka hal itu karena perbedaan Guna dan Karmanya,
Ketiga,
dunia ini diciptakan dengan perbedaan-perbedaan yang mewarnai dan memperindah
hidup ini; bahkan garis tangan kanan dan kiripun berbeda. Perbedaan-perbedaan
adalah warna warni yang indah bagaikan pelangi. Perbedaan-perbedaan adalah
ciptaan Brahman juga, tentu mempunyai
makna yang dalam. Sehingga tidak ada alasan untuk menjadikan perbedaan sebagai
pemicu konflik! justru perbedaan-perbedaan itulah yang harus dijadikan motivasi
untuk mengarah pada persatuan. Dan cakupan tangan dalam sikap krtanjali
merupakan simbol
penyatuan atas
perbedaan-perbedaan yang ada dan juga mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang
dimiliki oleh masing-masing orang atau kelompok. Seharusnya disadari bahwa perbedaan
adalah anugerah yang harus dihormati dan ditempatkan sebagai perekat bukanya
sebagai penyebab konflik.
Keempat,
walaupun telapak tangan kiri dan kanan garis-garisnya berbeda; tetapi ketika disatukan dengan cakupan
keduanya, maka akan menjadi simbol kekuatan gabungan yang mampu menghantarkan
manusia kepada Brahman.
Karena cakupan tangan ini merupakan sikap menyembah kepada Brahman, ibarat bertepuk sebelah tangan
tidak akan terjadi bunyi, oleh karena itu gabungan tangan kanan dan kiri akan
merupakan kekuatan yang tanguh. Bahkan cakupan tangan yang didukung oleh
kepasrahan yang tinggi akan mampu mengetarkan dimensi para dewa serta leluhur,
sehingga tidak alasan bagi para dewa untuk mengabaikan manusia.
Kelima,
cakupan tangan yang membentuk teratai yang belum
mekar, sebgai simbol dari kesucian
hati (tempat bersemayamnya Atman). Yang siap dipersembahkan kepada Brahman sebagai wujud bhakti
Umat Hindu dalam persembahan yang suci, maka ketulusan dan keikhlasan akan
menjadi bhakti yang utama.
Keenam,
cakupan tangan yang membentuk teratai yang siap mekar, menumbuhkan rasa damai
yang hening sebagai kesiapan untuk menerima sentuhan “super natural power” yang
berwujud sinar suci, sebagai karunia dari sebuah bhakti yang tulus ikhlas dan tanpa pamrih. Inilah inti dari sebuah perwujudan bhakti kepada Sang Pencipta, sinar suci
mengandung berbagai
aspek kehidupan spiritual yang dibutuhkan oleh manusia Hindu.
Ketujuh,
krtanjali yang dilakukan oleh Arjuna kepada Krsna
dalam wujud Triwikrama,
merupakan penghormatan terhadap Sang Pemberi Hidup, percikan suci dari Brahman yang terdapat terhadap
setiap makhluk, yaitu Atman. “Hamba melihat Brahma duduk di atas teratai
bersama Siva, sang pelebur”, kata Arjuna. Dan hamba juga melihat para deva dan
rsi-rsi surga serta para naga”, sambungnya. Swasti-swati-swasti” kata Arjuna
dengan sikap kritanjali ini, sang Arjuna maupun kita akan menemukan jalan
“pencerahan dan purifikasi diri”.
Kedelapan,
krtanjali lalu berkembang menjadi panganjali setelah disertai dengan salam dan
do`a universal yang menghantarkan keselamatan kepada sesame makhluk, yaitu AUM SWASTYASTU, salam ini ditujukan kepada
sang atman, sebagai sang pemberi hidup
yang terdapat dalam setiap manusia. Apabila disadari bahwa sebenarnya
ucapan ini bukanlah ditujukan kepada manusia secara fisik, tetapi kepada sang Atman; maka ini merupakan suatu pengakuan bahwa manusia pada dasarnya menerima karunia yang sama. Kepada
siapapun kita mengarahkan panganjali ini, berarti kita memohonkan kepada Brahman supaya orang tesebut
selamat sejaterah, tanpa melihat agama, suku, budaya ,ras dsb. Dan inilah yang
harus kita lakukan sebagai umat Hindu, dimanapun berada. (dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung).
Kesembilan,
krtanjali (pertemuan sepuluh jari tangan) ini merupakan peringatan kepada kita agar selalu
mengendalikan sepuluh indrianya (jnana indria dan karma indria) agar terhindar
dari jalan menuju kesengsaraan. Karena memang pada umunya manusia sering lupa diri dan
mengunakan karunia sepuluh indrianya hanya ingin untuk memenuhi keinginan,
nafsu yang didorong oleh ego.
Demikianlah makna yang tesurat
maupun tersirat dari sebuah panganjali yang menjadi identitas kita umat Hindu dalam
keseharian. Dan perlu diketahui bahwa selama umat Hindu masih melakukan
perilaku ini, maka tidak alasan sesama
umat Hindu untuk saling membenci, hanya karena perbedaan pendapat. Kita
seharusnya malu kepada Brahman,
karena sedemekian anugerah yang diberikan-Nya kepada kita, tetapi malahan
anugerah ini kita pergunakan untuk saling menyakiti; kita pergunakan anugerah
itu sebagi alat untuk memenuhi nafsu
keinginan.
Lebih dari itu tidak ada alasan apapun
bagi kita umat Hindu untuk menjadi umat beragama yang eksklusif serta merasa
lebih benar dari orang lain atau melecehkan, menghina, merendahkan umat
beragama lain, karena krtanjali dan AUM SWASTYASTU saja sudah membuktikan
bahwa ajaran Hindu merupakan ajaran universal sehingga umat Hindu memang harus
hidup rukun bersama-sama dengan umat lain.
Kesimpulan : dimana
kita sebagai umat Hindu tidak harus berpangku tangan, untuk menegakan Dharma,
namun dengan usaha sendiri untuk menegakan Dharma paling tidak melaksanakan
kewajiban (Swadharma) atau Dharma itu sendiri dari hal hal yang nampak sederhana
yaitu krtanjali yang dilanjutkan salam jagatdhita yang populer dengan
panganjali
Ajakan : mari umat
sedharma kita tunjukan identitas kita sebagai umat Hindu yang kita laksanakan
dalam keseharian dengan sebuah pemahaman yang mendalam tentang ajaran kita
kepada orang disekitar kita karena, apa
yang kita tebar itulah yang kita pungut.
“Saya mewakili
keluarga besar Mahasiswa STAH DNJ mengucapkan selamat hari raya Kuningan semoga
kedamaian dan kebahagiaan selalui menyertai kita semua”
Akhir kata saya tutup dengan paramasanti,
“Om santi santi
santi Om”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar