Kamis, 22 Januari 2015

makna universal dari panganjali



“MAKNA UNIVERSAL DARI PANGANJALI, SEBAGAI IDENTITAS UMAT HINDU
( Oleh: Adi Winarno STAH DNJ : 27.12.2014. Pura agung Tirtha Bhuana Bekasi dan
Pura Agung Taman Sari Halim Perdana Kusuma)


“Om Swastyastu”
Kesejukan dan kesejateraan tidak kunjung datang di negeri ini, pertikaian silih berganti melanda di daerah-daerah di Nusantara. Rakyat mengharapkan datangya angin sejuk, pelepas dahaga bagi jiwa yang tandus dilanda badai pasir yang mengotori spiritual. Benarkah karena jaman ini adalah jaman kali yuga?  Ataupun lebih tepatnya karena pengaruh buruk arus globalisasi, ataukah memang kualitas rohaninya manusia memang sudah begitu rendahnya. Ataukah terjadi pergeseran nilai yang cenderung melupakan etika dan moral. Perilaku manusia sudah kehilangan kemanusiaanya, kemanakah perginya kedamaian negeri ini? Bukan hanya negeri ini saja yang  terus menerus mengalami petaka, juga di banyak belahan dunia lainya, marahka Tuhan kepada manusia lalu dikutuk-Nya? Entahlah!
Pada saat yang seperti inilah manusia merindukan sang Awatara, seperti janji-Nya dalam Bhagavad Gita ( IV.7 ) :
Yada-yada hi dharmasya. Glanir bhwati bharatha
Abhyutanam adharmasya. Tadatmanam srijamy aham
Yang mempunyai arti bebas adalah:
Manakala Dharma hendak sirna dan Adharma hendak merajalela, di dunia maka aku akan turun menjelma Ku- hancuran demi Kebajikan
Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang penuh dengan kedamaian.
Tapi entah kapan turunya Sang Awatara, namun kitapun tidak harus menunggu dengan berpangku tangan, tetapi mengacu pada sloka diatas, kita sebagai Umat Hindu harus terus melangkah untuk menugakan Dharma, setidaknya menegakan Dharma dalam diri sendiri (KEWAJIBAN) Untuk itu diperlukan penghayatan dan pendalaman yang lebih intens terhadap ajaran Hindu, dari hal-hal yang tampak sederhana dalam keseharian ini;  seperti halnya panganjali ini.
Agama-agama besar di dunia memiliki simbolnya masing-masing, paling tidak memiliki adanya suara, bunyi, api, cahaya, sinar, terang, matahari, bulan, bintang, planet dan sebagainya. Agama Hindu sendiri juga erat sekali dengan simbol-simbol yang memerlukan penjabaran-penjaaran lebih lanjut sehingga makna dan manfaatnya semakin jelas.
Demikian pula dengan sikap Kritanjali seperti halnya yang dilakukan oleh Arjuna terhadap Krsna ketika mendapat  karunia berupa penampakan Brahman yang maha kuasa, dalam Visvarupa wujud alam semesta yang tidak terbatas, sebagai kualitas Awatara Visnu dalam diri Krsna. Arjuna mencakupkan tangan didepan dadanya, sebagai penghormatan kepada wujud Brahman sebagai pemberi hidup. Inilah cuplikan dari Bhagavagita ( XI. 14 ) :
Tatah sa vismayavisto. Hrsta-roma dhananjaya
Pranamya sirasa devam. Krtanjali abhasata
Yang artinya :
Kemudian Arjuna kebingungan dan kagum, bulu romanya berdiri tegak. Arjuna menundukan kepalanya untuk bersujud, dengan sikap Kritnajali (mencakupkan tangan) Dan mulai berdoa kepada Brahman.
Cakupan tangan dengan membentuk bunga lotus dengan ujungya menjulang ke atas, dilanjutkan dengan salam jagaditha (selamat dan sejatera) “AUM SWASTYASTU” merupakan salam dan doa yang mempunyai makna yang dalam. Sebuah salam dan doa yang didasari dengan kesadaran Arjuna kepada Brahman. Apakah begitu sederhananya makana dari sebuah Kritanjali  dengan salam dan doa yang kemudian hari lebih popular dengan panganjali?
Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang penuh dengan karunia.
Bagi kita sebagai Umat Hindu, baik di India maupun di Indonesia, kritanjali ini bukan hanya penhormatan kepada sesame manusia saja, tetapi juga ditunjukan kepada para leluhur para Deva dan Brahman itu sendiri;  bahkan sebearnya juga ditujukan kepada makhluk dimensi bawah (para bhuta) dalam kitap Ramayana (P.lall) disebutkan bahwa anjali adalah sikap penhormatan Hindu dimana kedua telapak di cakupkan, diangkat didepan dada, dagu atau dahi sebagai salam sembah. Sedangkan SWASTI TE ASTU yang artinya “semoga segalanya baik bagimu”  merupakan sebuah sapaan tradisional Hindu. Laksmana megucapkan kata-kata itu kepada sita ketika ia meninggalkan sang Devi  untuk menyusul Rama yang maksudnya “semoga kebaikan selalu menyertaimu”  (P.lall, Ramayana hal 147). Juga ketika wibhisana meninggalkan Alengka karena berselisih pendapat dengan Rahwana, ia masih mengucapkakan SWASTI TE ASTU yang artinya “semoga engkau makmur”  katanya kepada kakanya, Rahwana (P.lall Ramayana hal 265) mencakupkan kedua belah tangan, merupakan sarana komunikasi  universal Bagi Umat Hindu. Di Indonesia salam diguakan oleh Hindu dan Budha, umat lain dari etnis tetentu juga mengunakan tradisi ini, untuk bersalaman dalam pertemuan –pertemuan (etnis Betawi, Sunda dll); walaupun mungkin maknanya berbeda, tetapi yang pasti bukanlah sesuatu yang baru dalam tradisi di Nusantara ini.
Dari sudut pandang Hindu, semua manusia memiliki dua sifat alami yang selalu ingin saling mendominasi  yaitu sifat baik (daiva sampad), dan sifat buruk (asuri sampad). Sehingga ketika sifat baik yang lebih dominan, maka kesadaran Atman akan lebih berkembang dan berperan. Ini terlihat dari perilaku positif orang-orang tetentu, yang otomatis tanpa disadarinya sering melakukan hal-hal yang baik.
Seperti halnya perilaku Umat Hindu yang selalu mencakupkan kedua belah tanganya, ketika berjumpa dengan sesama Umat Hindu  tanpa disadari kadang-kadang kita juga melakukan hal yang sama kepada umat lain; karena ini bukan sesuatu yang baru di Nusantara ini, maka tidak dapat diartikan sebagai suatu intervensi umat Hindu terhadap umat lainya. namun, untuk itu, umat Hindu sendiri harus harus benar-benar memahami secara dalam makna dari sebuah Krtanjali. Yang kemudian hari berkembang menjadi panganjali. “dari beberapa sastra yang saya baca dan beberapa sumber narasumber yang sudah terpercaya saya mendapatkan pemahaman”
Pertama, krtanjali berupa cakupan tangan mengarah keatas, memberikan makna penyatuan, yaitu menyatukan idep (power of mind), sabda (power of speech), dan bayu (power of activities) untuk mengarah pada tujuan hakekat hidup yaitu Brahman. Ketiga anurah pramana inilah yang menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan yang paling mulia dan lebih sempurna dari ciptaan Brahman yang lainya. Oleh karena itu sudah sepantasnyalah setiap manusia, Khususnya kita sebagai umat Hindu. untuk selalu mempertahankan penyatuan ketiga anugerah ini. Karena hanya membentuk suatu keseimbangan dalam penyatuan ini, maka manusia akan memiliki cirinya sebagai manusia dengan sifat-sifat kedewataan. Lalu, dari penyatuan ini diharapkan akan menghasilkan Tri Kaya Parisudha, yaitu keseimbangan dalam mengendalikan pikiran (idep), perkataan (sabda), bayu (perbuatan). Keseimbangan yang dimaksud adalah segala yang dipikirkan seharusnya sesuai dengan perkataan dan perbuatanya. Secara teori memang terasa mudah, namun, kenyataan bukanlah demikian, tidak sedikit orang yang yang memiliki pemikiran atau ide-ide cemerlang namun gagal dalam mewacanakanya. Ketika mampu mewacanakanya dengan baik, gagal dalam mengaplikasikanya karena muncul keserakaan dsb.
Kedua, sikap krtanjali didepan dada mengandung makna kesetaraan dan kebersamaan, yaitu untuk mengajak orang lain untuk selalu mengedepankan kebersamaan. Kesetaraan atau kebersamaan harus dipahami. Didasarkan pada konsep Tat Twam Asi; yaitu sama-sama merupakan bagian dari Brahman. Karena semua makhluk adalah bersal dari sumber yang sama. Tidak ada yang lebih tinggi derajatnya, tidak ada yang lebih istimewa, karena semuanya menerima atman dari Brahman. Kalau ada perbedaan, selain tubuh jasmaninya; maka hal itu karena perbedaan Guna dan Karmanya,
Ketiga, dunia ini diciptakan dengan perbedaan-perbedaan yang mewarnai dan memperindah hidup ini; bahkan garis tangan kanan dan kiripun berbeda. Perbedaan-perbedaan adalah warna warni yang indah bagaikan pelangi. Perbedaan-perbedaan adalah ciptaan Brahman juga, tentu mempunyai makna yang dalam. Sehingga tidak ada alasan untuk menjadikan perbedaan sebagai pemicu konflik! justru perbedaan-perbedaan itulah yang harus dijadikan motivasi untuk mengarah pada persatuan. Dan cakupan tangan dalam sikap krtanjali merupakan simbol penyatuan atas perbedaan-perbedaan yang ada dan juga mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing orang atau kelompok. Seharusnya disadari bahwa perbedaan adalah anugerah yang harus dihormati dan ditempatkan sebagai perekat bukanya sebagai penyebab konflik.
Keempat, walaupun telapak tangan kiri dan kanan garis-garisnya berbeda;  tetapi ketika disatukan dengan cakupan keduanya, maka akan menjadi simbol kekuatan gabungan yang mampu menghantarkan manusia kepada Brahman. Karena cakupan tangan ini merupakan sikap menyembah kepada Brahman, ibarat bertepuk sebelah tangan tidak akan terjadi bunyi, oleh karena itu gabungan tangan kanan dan kiri akan merupakan kekuatan yang tanguh. Bahkan cakupan tangan yang didukung oleh kepasrahan yang tinggi akan mampu mengetarkan dimensi para dewa serta leluhur, sehingga tidak alasan bagi para dewa untuk mengabaikan manusia.
Kelima, cakupan tangan yang membentuk teratai yang belum mekar, sebgai simbol dari kesucian hati (tempat bersemayamnya Atman). Yang siap dipersembahkan kepada Brahman sebagai wujud bhakti Umat Hindu dalam persembahan yang suci, maka ketulusan dan keikhlasan akan menjadi bhakti yang utama.
Keenam, cakupan tangan yang membentuk teratai yang siap mekar, menumbuhkan rasa damai yang hening sebagai kesiapan untuk menerima sentuhan “super natural power” yang berwujud sinar suci, sebagai karunia dari sebuah bhakti  yang tulus ikhlas dan tanpa pamrih.  Inilah inti dari sebuah perwujudan  bhakti kepada Sang Pencipta, sinar suci mengandung berbagai aspek kehidupan spiritual yang dibutuhkan oleh manusia Hindu.
Ketujuh, krtanjali yang dilakukan oleh Arjuna kepada Krsna dalam wujud Triwikrama, merupakan penghormatan terhadap Sang Pemberi Hidup, percikan suci dari Brahman yang terdapat terhadap setiap makhluk, yaitu Atman.  “Hamba melihat Brahma duduk di atas teratai bersama Siva, sang pelebur”, kata Arjuna. Dan hamba juga melihat para deva dan rsi-rsi surga serta para naga”, sambungnya. Swasti-swati-swasti” kata Arjuna dengan sikap kritanjali ini, sang Arjuna maupun kita akan menemukan jalan “pencerahan dan purifikasi diri”.
Kedelapan, krtanjali lalu berkembang menjadi panganjali setelah disertai dengan salam dan do`a universal yang menghantarkan keselamatan kepada sesame makhluk, yaitu AUM SWASTYASTU, salam ini ditujukan kepada sang atman, sebagai sang pemberi hidup  yang terdapat dalam setiap manusia. Apabila disadari bahwa sebenarnya ucapan ini bukanlah ditujukan kepada manusia secara fisik, tetapi kepada sang Atman; maka ini merupakan suatu pengakuan  bahwa manusia pada dasarnya menerima karunia yang sama. Kepada siapapun kita mengarahkan panganjali ini, berarti kita memohonkan kepada Brahman supaya orang tesebut selamat sejaterah, tanpa melihat agama, suku, budaya ,ras dsb. Dan inilah yang harus kita lakukan sebagai umat Hindu, dimanapun berada. (dimana bumi dipijak disitulah langit dijunjung).
Kesembilan, krtanjali (pertemuan sepuluh jari tangan) ini merupakan peringatan kepada kita agar selalu mengendalikan sepuluh indrianya (jnana indria dan karma indria) agar terhindar dari jalan menuju kesengsaraan. Karena memang pada umunya manusia sering lupa diri dan mengunakan karunia sepuluh indrianya hanya ingin untuk memenuhi keinginan, nafsu yang didorong oleh ego.
Demikianlah makna yang tesurat maupun tersirat dari sebuah panganjali yang menjadi identitas kita umat Hindu dalam keseharian. Dan perlu diketahui bahwa selama umat Hindu masih melakukan perilaku ini, maka tidak alasan sesama umat Hindu untuk saling membenci, hanya karena perbedaan pendapat. Kita seharusnya malu kepada Brahman, karena sedemekian anugerah yang diberikan-Nya kepada kita, tetapi malahan anugerah ini kita pergunakan untuk saling menyakiti; kita pergunakan anugerah itu sebagi alat  untuk memenuhi nafsu keinginan.
Lebih dari itu tidak ada alasan apapun bagi kita umat Hindu untuk menjadi umat beragama yang eksklusif serta merasa lebih benar dari orang lain atau melecehkan, menghina, merendahkan umat beragama lain, karena krtanjali dan AUM SWASTYASTU saja sudah membuktikan bahwa ajaran Hindu merupakan ajaran universal sehingga umat Hindu memang harus hidup rukun bersama-sama dengan umat lain.
Kesimpulan : dimana kita sebagai umat Hindu tidak harus berpangku tangan, untuk menegakan Dharma, namun dengan usaha sendiri untuk menegakan Dharma paling tidak melaksanakan kewajiban (Swadharma) atau Dharma itu sendiri dari hal hal yang nampak sederhana yaitu krtanjali yang dilanjutkan salam jagatdhita yang populer dengan panganjali
Ajakan : mari umat sedharma kita tunjukan identitas kita sebagai umat Hindu yang kita laksanakan dalam keseharian dengan sebuah pemahaman yang mendalam tentang ajaran kita kepada orang disekitar kita karena, apa yang kita tebar itulah yang kita pungut.
“Saya mewakili keluarga besar Mahasiswa STAH DNJ mengucapkan selamat hari raya Kuningan semoga kedamaian dan kebahagiaan selalui menyertai kita semua”
Akhir kata saya tutup dengan paramasanti,
Om santi santi santi Om

Tidak ada komentar: